Operasi dilakukan pada penderita hidrosefalus. Terdapat 2 metode operasi populer yang biasa dilakukan sebagai terapi definitif pada kasus hidrosefalus, yaitu operasi pintas (shunting) dan endoscopic third ventriculostomy (ETV).
Teknik shunting
Sebuah kateter ventrikular dimasukkan melalui kornu oksipitalis atau kornu frontalis, dan ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monro. Terdapat reservoir yang memungkinkan pengambilan dari CSS untuk dilakukan analisis.
Terdapat sebuah katup dalam sistem shunting ini, baik yang terletak di bagian atas dengan katup berbentuk diafragma maupun yang terletak di bawah dengan katup berbentuk celah. Katup akan membuka pada tekanan tertentu.
- Ventriculo-atrial shunt (VA Shunt). Ujung bawah kateter dimasukkan ke dalam ruang bilik kanan jantung melalui pembuluh darah vena jugularis interna.
- Ventriculo-peritoneal shunt (VP Shunt)
- Selang silastik ditanam dalam lapisan subkutan
- Ujung distal kateter ditempatkan dalam ruang peritoneum
Metode ini cocok untuk anak-anak, dengan kumparan silang yang banyak, memungkinkan tidak diperlukan revisi saat badan anak tumbuh.
Komplikasi shunting
Komplikasi shunting dapat berupa peritonitis, meningitis, atau peradangan sepanjang saluran subkutan. Pada pasien dengan VA Shunt, bakteri aleni dapat menyebabkan Shunt Nephritis yang biasanya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus epidermis atau S. aureus, dengan risiko terutama pada bayi. Pencegahan dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi.
Ventrikel yang kolaps akan menarik permukaan korteks serebri dari duramater. Pasien post operatif diletakkan dalam posisi terlentang secepat mungkin untuk mengurangi risiko.
Dapat ditimbulkan oleh:
- Ujung proksimal tertutup pleksus khoroideus
- Adanya serpihan-serpihan (debris atau jaringan sisa)
- Gumpalan darah
- Ujung distal tertutup omentum
Pada anak-anak dengan VA Shunt, ujung distal kateter dapat tertarik keluar dari ruang atrium kanan, dan mengakibatkan terbentuknya trombus dan timbul oklusi.
Beberapa pasien post shunting mengeluh sakit kepala dan muntah saat duduk dan berdiri, hal ini disebabkan tekanan CSS yang rendah, kondisi ini dapat diperbaiki dengan:
- Intake cairan yang banyak
- Ganti katup dengan katup yang bisa terbuka pada tekanan yang tinggi
- Asites oleh karena CSS
Asites CSS atau pseudokista pertama kali dilaporkan oleh Ames, kejadian ini diperkirakan 1% dari penderita dengan VP shunt. Patogenesis masih kontroversial. Diduga penyebab kelainan ini adalah pembedahan perut sebelumnya, peritonitis, dan protein yang tinggi dalam CSS.
Asites CSS biasanya terjadi pada anak dengan peningkatan tekanan intrakranial, gejala yang timbul dapat berupa distensi perut, nyeri perut, mual, dan muntah-muntah.
Kraniosistosis merupakan penutupan dini dari sutura. Keadaan ini terjadi akibat pembuatan shunt pada hidrosefalus yang berat, sehingga terjadi penutupan dini dari sutura kranialis.
Terapi untuk mengatasi hidrosefalus adalah pemasangan VP shunt. Prinsip dari prosedur ini adalah membuat saluran baru antara aliran CSS di kepala ke rongga perut. CSS yang dialirkan secara satu arah kemudian akan diserap oleh peritoneum dan masuk ke pembuluh darah.
Prosedur ini memiliki banyak komplikasi, termasuk diskoneksi komponen alat, alat yang putus, erosi alat ke kulit atau organ perut, over shunting, under shunting, buntu di proksimal atau distal, letak alat yang tidak pas, perdarahan subdural akibat reduksi CSS yang berlebihan, ascites, kraniostenosis, keadaan CSS yang rendah, dan infeksi. Setiap VP shunting memiliki kemungkinan risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10 tahun pasca operasi.
Selain shunt, ada operasi dengan teknik ETV. Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar ventrikel III ke sisterna basalis. Pada teknik ETV tidak ada alat yang dipasang, sehingga aliran CSS dibuat hampir mendekati aliran fisiologis menuju sistem penyerapan pada vili arakhnoid. Keuntungan teknik ETV lainnya adalah sekali tindakan saja, tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, biaya murah, dan sederhana.
Teknik ETV hanya dilakukan pada hidrosefalus obstruktif. Di Indonesia, masalah utama adalah harga alat yang relatif mahal, terutama saat terjadi penggantian pada revisi, dan hal ini akan sangat membebani keluarga penderita.