Panggilan atau teks +62-0-274-37-0579

Emboli Air Ketuban: Penyebab, Gejala, Cara Mengatasi, dll

Myles Bannister

Emboli air ketuban adalah kondisi air ketuban yang masuk dan bercampur ke peredaran darah ibu hamil. Ketahui penjelasan lengkap mulai dari gejala, penyebab, siapa saja yang berisiko, hingga cara mengatasinya!

Apa Itu Emboli Air Ketuban?

Emboli air ketuban adalah komplikasi kehamilan yang pertama kali ditemukan oleh Ricardo Meyer pada 1926. Pada keadaan normal, air ketuban diproduksi dan ditampung dalam kantung ketuban. Air ketuban melindungi janin selama kehamilan.

Pada emboli air ketuban, air ketuban masuk ke peredaran darah ibu, biasanya terjadi saat persalinan atau setelah persalinan selesai.

Gejala Emboli Air Ketuban

Trias emboli air ketuban adalah hipoksia (kekurangan oksigen), hipotensi (tekanan darah rendah), dan koagulopati (gangguan pembekuan darah, seperti DIC atau Disseminated Intravascular Coagulation).

Terdapat tiga tahap gejala emboli air ketuban:

  • Fase 1: distres pernafasan dengan sesak nafas berat, sianosis, kolaps.
  • Fase 2: gangguan koagulopati, syok, perdarahan, gagal jantung kiri.
  • Fase 3: cedera pada otak, paru-paru, dan ginjal yang dapat menyebabkan kematian.

Gejala lainnya meliputi perubahan kesadaran, kejang, demam, nyeri kepala, mual, muntah. Pada janin, emboli air ketuban dapat menyebabkan gawat janin.

Penyebab Emboli Air Ketuban

Penyebab emboli air ketuban belum jelas dan masih diperdebatkan. Beberapa teori yang diduga sebagai penyebabnya adalah:

  1. Sumbatan mekanik pada sirkulasi ibu.
  2. Rusaknya lapisan penghalang antara air ketuban dan sirkulasi ibu.
  3. Pembukaan pembuluh darah pada plasenta atau mulut rahim.

Siapa Saja yang Berisiko Mengalami Emboli Air Ketuban?

Faktor risiko emboli air ketuban pada ibu dan janin antara lain:

1. Kondisi ibu

Usia Ibu Hamil >35 Tahun

Menurut beberapa studi, risiko emboli air ketuban lebih tinggi pada ibu hamil yang berusia di atas 35 tahun.

Abnormalitas Plasenta: Plasenta Previs dan Abrupsio Plasenta

Plasenta previa adalah posisi plasenta yang menutupi sebagian atau seluruh mulut rahim. Abrupsio plasenta adalah lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum proses persalinan. Kedua kondisi ini dapat merusak lapisan pelindung air ketuban dan meningkatkan risiko emboli air ketuban.

Robekan pada Rahim atau Serviks

Robekan pada rahim atau serviks meningkatkan risiko emboli air ketuban.

Induksi Persalinan

Beberapa studi melaporkan bahwa induksi persalinan dapat meningkatkan risiko emboli air ketuban. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan dan perlu penelitian lebih lanjut.

Polihidramnion

Polihidramnion, yaitu produksi air ketuban yang berlebihan, dapat meningkatkan risiko emboli air ketuban.

Persalinan dengan Alat Bantu

Persalinan caesar atau normal dengan alat bantu, misalnya vakum, berisiko merusak lapisan pelindung air ketuban dan meningkatkan risiko emboli air ketuban.

Preeklampsia

Preeklampsia, yaitu tekanan darah tinggi pada kehamilan yang disertai gangguan organ, dapat meningkatkan risiko emboli air ketuban.

2. Kondisi Janin

Kondisi janin yang berisiko meliputi kematian janin, gawat janin, dan meconium dari janin. Material atau cairan dari janin yang terkandung di air ketuban dapat meningkatkan risiko emboli air ketuban.

Diagnosis Emboli Air Ketuban

Diagnosis emboli air ketuban umumnya didasarkan pada gejala klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, seperti:

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi:

  1. Laboratorium untuk melihat gangguan pembekuan darah seperti DIC.
  2. EKG untuk melihat gangguan jantung.
  3. Foto rontgen dada untuk melihat tanda-tanda pada paru-paru dan jantung.
  4. Ekokardiografi transtorasik atau transesofagus untuk melihat kemungkinan emboli atau thrombus intrakardiak.

Menurut Stafford, et al., diagnosis emboli air ketuban ditegakkan jika gejala muncul saat persalinan normal atau sesarean, atau 30 menit setelah proses persalinan. Gejala yang perlu diwaspadai antara lain:

  • Hipotensi dan/atau henti jantung akut
  • Hipoksia akut dengan sesak nafas, sianosis, dan henti nafas
  • Koagulopati atau perdarahan berat tanpa penyebab

Cara Mengatasi Emboli Air Ketuban

1. Mempertahankan Oksigenasi Tubuh

Pemberian oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi organ pada ibu, seperti otak, jantung, dan paru-paru. Pada janin, oksigenasi yang adekuat diperlukan untuk menjaga kestabilan janin, terutama pada kondisi gawat janin. Oksigen dapat diberikan melalui masker oksigen, selang endotrakeal, atau alat bantu nafas jika diperlukan.

2. Melakukan Proses Persalinan

Persalinan normal direkomendasikan karena dianggap lebih aman. Namun, jika tidak memungkinkan, persalinan sesar tetap dapat dilakukan.

3. Memperbaiki Sistem Sirkulasi

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem sirkulasi ibu adalah pemberian cairan, obat-obatan inotropik dan vasopresor, tindakan bedah, atau pijat jantung jika terjadi henti jantung.

4. Kontrol Perdarahan

Pengontrolan kontraksi dan tonus uterus dapat dilakukan dengan menggunakan obat oksitosin dan pemijatan rahim bimanual untuk mengurangi perdarahan. Jika perdarahan tidak dapat dihentikan, pengangkatan rahim mungkin perlu dilakukan.

5. Koreksi Gangguan Koagulopati

Pada DIC tanpa ada perdarahan, penanganan dilakukan dengan memberikan obat heparin. Namun, pada kasus dengan perdarahan, transfusi darah lebih direkomendasikan.

Prognosis

Emboli air ketuban memiliki prognosis buruk bagi ibu hamil. Emboli air ketuban terjadi tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Pada janin, emboli air ketuban dapat mengancam nyawa hingga menyebabkan kematian.

Pencegahan Emboli Air Ketuban

Meskipun sulit diprediksi dan dicegah, beberapa langkah yang mungkin dapat dilakukan untuk mencegah emboli air ketuban adalah:

  1. Mendeteksi gejala sejak dini dan memberikan penanganan awal yang cepat dan tepat.
  2. Menghindari sayatan pada plasenta saat proses persalinan sesar.
  3. Mempertimbangkan dan menyesuaikan dosis oksitosin yang merangsang kontraksi rahim.
  4. Mengontrol kontraksi rahim berlebihan dengan obat-obatan intravena seperti b-adrenergik atau magnesium sulfat.

Referensi

  1. Metodiev, Y., Ramasamy, P., Tuffnell, D. (2018) Amniotic Fluid Embolism. British Journal of Anaesthesia, 18(8), 234-8.
  2. Pacheco, L. D., Saade, G., Hankins, G. D. V., Clark, S. L. (2016) Amniotic Fluid Embolism: diagnosis and management. Society for Maternal Fetal Medicine Clinical Guideline, 9, B16-24.
  3. Rudra, A., Chatterjee, S., Sengupta, S., Nandi, B., Mitra, J. (2009) Amniotic Fluid Embolism. Indian Journal of Critical Medicine, 13(3), 129-35.
  4. Tan, A., McDonnel, N. (2010) Amniotic Fluid Embolism. Anaesthesia Tutorial of the Week, 197, 1-7.
  5. Toy, H. (2009) Amniotic Fluid Embolism. European Journal of General Medicine, 6(2), 108-15.

About The Author

Mengapa Setelah Menikah Menstruasi Jadi Tidak Lancar?

Hari Perkiraan Lahir Sudah Tiba Tapi Bayi Belum Lahir, Apa Penyebabnya?